LEO PURBA: Menaikkan Martabat Kopi Simalungun

Dua puluh tahun hidup di negara maju tak membuat Leo Purba (44) lupa tanah kelahirannya. Berbekal semangat "Martabe", semboyan Batak Toba yang memuat gairah membangun kampung, dia kembali ke desa, dan bertani kopi. Tak hanya perbaikan pola tanam, dia tawarkan rantai niaga baru yang lebih adil untuk menekan jerat tengkulak.

“Untuk biaya kuliah ke Amerika (Serikat), keluarga saya menjual hasil bumi dan harta benda. Dua puluh tahun kemudian, saya pun jual rumah dan semua harta di Boston, untuk balik kampung. Ironi yang indah," tutur Leo, membuka perbincangan dengan Kompas, di salah satu sudut gedung Georgia World Congress Centre, Atlanta, AS, pertengahan April lalu.

Kehadiran Leo, petani asal Desa Silimakuta, Kecamatan Saribudolok, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, di Atlanta itu untuk memberikan kuliah umum pada salah satu sesi Pameran Ke-28 Asosiasi Kopi Spesial Amerika (SCAA). Di hadapan lebih dari 100 peserta dari sejumlah negara, dia berbagi pengetahuan tentang rantai produksi kopi.


Seperti layaknya wilayah lain di sekitar Danau Toba, Simalungun menyimpan potensi kopi spesial. Sejak kecil, Leo terbiasa dengan suasana perkebunan kopi yang diwarisi turun-temurun. Walau menapaki kehidupan mapan di Boston, kampung halaman Lisa, sang istri, Leo terus menyimpan angan-angan untuk kembali.

Keakraban dengan kopi terus ia rajut, yang sebenarnya berlatar belakang pendidikan teknik elektro. Di Boston, dia beberapa kali membantu temannya dalam bisnis kopi.

Hingga akhirnya, pada 2009, dia dan istri membuat survei ke Simalungun. Dia heran, potensi kopi arabika varietas Sigaruntang yang sebenarnya memiliki kualitas tinggi belum bisa dioptimalkan. Selain metode penanaman dan panen yang serampangan, ekonomi petani sulit meningkat karena terjebak jerat tengkulak atau sering disebut toke.

Panen dan toke

Akhirnya, medio 2010, Leo mengajak Lisa pulang kembali ke kampung, untuk memulai agrobisnis kopi. Dia memulai di lahan warisan seluas lebih kurang 2 hektar. Leo lalu paham, banyak kekurangan dalam memperlakukan tanaman kopinya di kalangan petani.

Meski sejak dulu tidak pernah memakai pupuk kimia, petani sering menggunakan pestisida dan fungisida untuk menghalau hama. Leo berbagi ilmu soal agen hayati yang bisa digunakan sebagai pestisida organik.

Ketika memanen juga banyak hal fatal yang dilakukan petani, misalnya mencampur antara biji kopi yang merah dan yang lain. "Mereka tidak memetik satu per satu, tetapi diprotoli langsung dari tangkai atas ke bawah supaya keranjangnya cepat penuh," kenang Leo.

Setelah kopi dipanen, para petani terbiasa mencuci biji kopi dengan detergen dicampur belerang. Ini dilakukan turun-temurun dengan dalih agar cepat bersih. "Padahal, pencucian cukup pakai air bersih walau lebih lama," ucapnya.

Leo terjun langsung memperbaiki pola panen petani. Dia berkunjung dari rumah ke rumah menyadarkan petani akan pentingnya memperbaiki sistem panen kopi, salah satunya dengan sistem petik merah. Pasalnya, hanya kopi matang maksimal yang dapat diolah menjadi minuman bercita rasa tinggi.

Petani dituntun untuk jujur menyisihkan biji kopi yang cacat. Bukan kuantitas yang dikejar, melainkan kualitas, sebab pembeli di luar negeri mau membeli dengan harga tinggi asal kopi yang dihasilkan sempurna. Butuh waktu dua tahun bagi Leo mengubah sistem panen petani kopi di kampungnya.

Persoalan lainnya, petani kopi Simalungun juga selalu terjerat utang kepada para toke. Akibatnya, saat panen, mereka tak punya posisi tawar karena harus menjual kopi dengan harga yang ditetapkan toke sebagai cicilan atas utangnya.

Kendala itu coba diatasi. Leo bekerja sama dengan lembaga koperasi Credit Union membentuk Usaha Dagang Kopi yang dapat menyalurkan pembiayaan bagi petani dengan bunga rendah.

Untuk meningkatkan nilai tambah, Leo membangun pabrik penggilingan dan pengemasan kopi melalui bendera UD Lisa & Leo Organic. Kepada petani, Leo menawarkan insentif Rp 500 per kilogram lebih tinggi ketimbang harga pasaran. "Saya cuma minta satu syarat. Perlakuan panen yang sudah kami ajarkan diterapkan. Itu saja," kata ayah dua anak ini.

NAMA                  :           LEO PURBA
LAHIR                   :           Jakarta, 1972
ISTRI                      :           Lisa Purba
ANAK:
Wade (20)
Cait (19)
PENDIDIKAN:
S-1 Electrical Engineering Northeastern University Federal, Boston, AS
USAHA:
UD Lisa & Leo Organic, Pematang Purba, Simalungun, Sumatera Utara
AKTIVITAS LAIN:
Instruktur swadaya Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia

Namun, Leo mesti menghadapi ancaman fisik dan nonfisik dari para tengkulak yang puluhan tahun menguasai perdagangan kopi di daerahnya. "Saya dianggap mengganggu. Padahal, toke-toke itu saya kenal, sebagian besar malah saudara sendiri," kata Leo.

Dengan sabar, mereka diajak bicara. Dia meyakinkan bahwa apa yang ia lakukan justru berdampak baik. Kualitas panen di kebun yang pola tanamnya sudah diperbaiki otomatis meningkat. Selain itu, dia juga menyadarkan mereka akan pentingnya maju bersama karena permintaan dunia terhadap kopi Indonesia kian besar. "Jangan hanya satu yang maju, tetapi yang lain tertinggal. Ini juga demi kemakmuran kampung. Lama-lama mereka bisangerti," kata Leo.

Menghargai kopi

Leo juga mengajak petani mengapresiasi hasil kopi tanahnya sendiri. Selama ini, meski menanam kopi berkualitas, masyarakat Simalungun tidak pernah merasakan nikmatnya kopi yang mereka tanam lantaran ada cerita bahwa kopi mengandung racun dan menjadi campuran mesiu.

"Itu karena rasanya asam. Petani terbiasa minum kopi jitu. Dalam bahasa Jawa, siji-pitu (satu-tujuh). Satu bagian kopi dicampur tujuh bagian jagung. Asal gulanya banyak. Adapun kopi-kopi baik diambil semua oleh tengkulak," ucap Leo lalu terkekeh.

Pada 2012, untuk meyakinkan pembeli luar negeri, dia mengambil lisensi Q-grader berstandar SCAA. Dengan lisensi itu, Leo berhak menentukan skor kopi bubuk organik yang dihasilkan usahanya.

Setelah enam tahun merintis usaha, luas kebun kopi yang ditangani Leo meningkat menjadi 4 hektar. Lahan itu juga meluas ke Desa Pematang Purba, Kecamatan Purba, dan Kecamatan Doloksilau. Setidaknya tercatat 23 kelompok tani yang terdiri atas 800-an petani bergabung dengannya.

Upaya Leo mulai membuahkan hasil. Harga kopi di Simalungun yang 10 tahun silam hanya sekitar Rp 8.000 per kilogram meningkat menjadi Rp 23.000 per kilogram. Kesejahteraan petani perlahan membaik. Mereka yang beralih menjadi pengepul bahkan mampu menguliahkan anak mereka dan membeli mobil baru.

Melalui merek dagang Tiga Raja Internasional, kopi organik kelas premium yang dihasilkan dari kebun-kebun di Simalungun mulai mendunia. Dalam setahun, Leo mengirimkan 8-10 kontainer atau 144-180 metrik ton kopi, terutama ke AS.

Hasil skor uji cita rasa (cupping) kopi yang dihasilkan juga selalu lebih dari 84. Artinya, kopi tersebut sudah masuk standar spesial premium yang harganya di pasar dunia berkisar Rp 500.000-Rp 750.000 per kilogram.

Model usaha yang dirintis Leo menarik perhatian Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember yang bekerja sama dengan Universitas Sydney, Australia, untuk menjajaki kemungkinan diduplikasi di daerah-daerah lain.

Leo meyakini, ketika tradisi minum kopi bercita rasa tinggi menjadi gaya hidup kelas menengah di dunia, prospek agrobisnis kopi di Tanah Air makin mengilap.

Penulis dan Photo oleh Kompas/GREGORIUS MAGNUS FINESSO
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Mei 2016, di halaman 16 dengan judul "Menaikkan Martabat Kopi Simalungun".


No comments for "LEO PURBA: Menaikkan Martabat Kopi Simalungun"