Parhuta-Huta

“Dasar kau parhuta-huta.”
Itulah cap yang sering di alamatkan untuk anak desa yang merantau ke suatu kota. Kolot...hingga kini.

Kata ini bisa berkonotasi negatif dan kasar apabila anak desa melakukan sebuah kesalahan. Tapi sering terjadi bila berhubungan dengan kebaikan, sang anak parhuta-huta inilah yang tampil di depan.


Inilah yang saya rasakan sebagai anak yang terlahir di sebuah desa terpencil, Bungus. Huta Bungus terletak sekitar 7 kilometer dari kota kecamatan Pangaribuan atau lebih dari 40 kilo dari kota kabupaten Tapanuli Utara. Sebuah desa yang berjarak hanya 1 kilometer dari hutan yang masih perawan dan dikelilingi kebun kopi dan tanaman palawija dan hamparan sawah. Hijau nan sejuk. 

Sebagai parhuta-huta, kami hanya di ajarkan untuk selalu berbuat baik. 

“Baik- baiklah kamu di mana pun berada. Lakukan hal yang baik dan dahulukan Tuhan dalam hidupmu,” begitulah petuah yang selalu disampaikan tua-tua desa apabila kami mau merantau keluar kampung.

HIngga kini, kebaikan dan kepolosan pun selalu melekat dengan parhuta-huta: murah senyum dan ringan tangan untuk membantu. Sikap santun dan hormat kepada yang lebih tua sudah tertanam sejak kecil. Tidak neko neko. Terkadang kepolosan parhuta huta ini yang sering di salah artikan oleh anggota komunitas dimana mereka bergabung.


Sejak kecil kami sudah terbiasa dengan hidup sederhana. Sederhana karena kepahitan ekonomi. Ya, keadaan ekonomi di desa ku memang tidak memungkinkan kami untuk berbuat banyak. Bertani sebagai mata pencaharian yang sudah turun-temurun belum juga mampu mengangkat ekonomi desa.

Sewaktu SD, banyak dari kami tidak bisa membeli sepatu atau tas sekolah. Satu pasang dinas merah putih harus kami pakai berulang selama seminggu sebelum kemudian dicuci di hari Minggu. Bau keringat sudah sahabat kami.

Kalau pun ada sepatu hanyalah satu pasang untuk semua dan harus bertahan beberapa tahun. Memang orangtua sengaja membeli ukuran sepatu yang lebih besar dari kaki kami….Oh my God.

Baju baru? Itu hanya impian kami saat mau natalan. Sama dengan makan daging bersama yang hanya dapat kami nikmati saat malam natalan dan tahun baru.

Bagaimana dengan supermie? Wow itu makanan berharga di kampung kami yang hanya disuguhkan untuk tamu dari keluarga dekat, itupun kalau tidak sempat untuk menghidangkan hidangan berupa ayam.

Kalau datang tamu, kami semua harus rela untuk keluar rumah saat waktu makan tiba. Kalau tamu sudah selesai makan dan masih menyisakan ayam yang tadi mereka nikmati, baru kami bisa mencicipinya.


Sahabat kesaharian kami hanyalah cangkul.

Pagi hari sebelum berangkat sekolah, kami harus pergi ke ladang dulu untuk mencangkul. Begitu juga siang hari, kami bahkan sering langsung pulang ke sawah lengkap dengan seragam sekolah untuk makan siang sebelum turun ke sawah.

Saya masih ingat ketika tahun 1970 an waktu saya di Sekolah Dasar, hampir semua anak-anak desa menghabiskan waktu setelah pulang sekolahnya di sawah, ladang atau hutan.


Tidak ada warung waktu itu. Tidak ada televisi ataupun radio.

Desa kami sepi di siang hari, para penghuni desa sibuk di sawah, ladang atau hutan. Pun di malam hari nan dingin, tidak terdengar suara anak-anak. Sering kali semua sudah tertidur lelap sebelum jam 8 malam.

Lalu kapan belajarnya? Ya hanya sebentar setelah makan malam.Tidak jarang,karena kecapean, kami hanya menyiapkan buku pelajaran untuk besoknya, karena jam 5 pagi sudah harus siap melangkah ditengah dinginnya cuaca untuk berangkat kesekolah. Rata-rata anak sekolah di kampungku tidak kuat mandi pagi saat mau kesekolah.

Kami harus bisa memasak nasi sebelum berangkat sekolah sambil menghangatkan badan (marsisulu) dari terjangan embun pagi yang begitu dingin. Kalau lagi pas ujian, waktu marsisulu ini lah kami pakai untuk membaca ala kadarnya. 
Photo ilustrasi marsisulu (oleh Helderson Simamora)
Kami juga tidak boleh rewel atau mengadu ke orangtua kalau kami dihukum oleh guru. Kalau ketahuan kami di pukul guru, orangtua malah menginterogasi dan memukul kami. Tidak ada kamus guru sekolah salah saat saya di SD dan SMP. Kami pun tidak berani bertatap muka dengan guru, kalau kebetulan bertemu di jalan, maka sedapat mungkin kami harus bersembunyi. Itu karena kami sangat menghormati dan takut dengan guru.

Hanya hari Minggu lah waktu terindah tanpa cangkul. Kami bisa bermain seharian 
itu pun kalau tidak sedang musim padi berbuah dimana kami harus menjaga sawah dari serangan burung pipit.


Ketika padi baru berbuah, waktu kamipun habis di sawah atau ladang. Kami harus berteriak sekeras-kerasnya untuk mengusir burung pipit. Mungkin itu juga yang membuat suara kami cukup bagus dan berpotensi menjadi penyanyi hebat.

Cuma sayang…orang desa tidak mengetahui bahwa bernyayi bisa menjadi profesi. Setidaknya, kami tidak mendapatkan informasi itu waktu masih tinggal di desa.

Ketika didesaku kemudian ada satu televisi saat aku SMP, yang menjadi 
tontonan bersama orang desa hanyalah siaran pertandingan bulu tangkis atau tinju. Begitu masuk acara selecta pop atau acara hiburan lainnya di TVRI, maka tombol off pun cepat2 di pencet. Oh ya, kami harus membeli sesuatu untuk bisa menonton TV loh..hehehe.

Berlaripun menjadi kebiasaan keseharian kami. Waktu SMP, setiap pagi kami harus berlari supaya tidak terlambat sekolah yang berjarak 7 kilometer dari desa kami. Kami sering berlari tanpa alas kaki dikarenakan jalanan yang becek. Tapi lagi-lagi, kami tidak tahu bahwa keahlian berlari bisa membuat seseorang terkenal di ajang olah raga dunia.

Bersepeda? Kami bahkan sudah terbiasa dengan sepeda bentuk ontel lengkap 
dengan beban dua karung padi dari sawah atau tumpukan kayu dari hutan. Kami bisa menghayuh sepeda beberapa jam dengan berbagai medan jalan. Tapi kami pun tidak tahu bahwa itu bisa menjadi profesi hebat.

Profesi yang kami tahu waktu itu hanyalah guru, dokter atau insyinyur. Tapi itupun, kami takut untuk bermimpi. Orangtua kami tidak banyak tahu informasi dengan dunia luar, mereka hanya menyekolahkan kami dengan harapan bisa cepat kerja. Walau topik diskusi mereka hanya bertani dan bertani, tapi mereka mau anak anak mereka berangkat merantau untuk merubah jalan hidup kami. Waktu itu, rata-rata pendidikan di desaku masih setingkat SMA.

Seandainya kalender kehidupan ini bisa di putar kembali…kami mungkin bisa memillih karir seperti Ben Johnson, sang legendaris pelari dunia atau seperti Lance Amstrong, seorang pembalap sepeda kelas dunia dengan 7 kali memenangi  Tour de France atau seperti Celine Dion, penyanyi dengan ketinggian suara hingga 3 oktaf dengan lagunya yang sangat populer "MY HEART WILL GO ON" yg menjadi soundtrack film titanic. Hahahaha

But show must go on.

Saya tertarik dengan filsafat hidup dari guru motivator dunia, Tony Robbins, anak yang dididik oleh seorang ibu yang hidup dalam kemiskinan, kesusahan dan berbagai penderitaan, tapi kemudian berhasil menjadi motivator terkenal bahkan menjadi penasehat bagi beberapa pemimpin dunia.

 “I always say, change your story change your life, because whatever your story is will become the shaper of your life,” kata Robbins seperti dikutip dibuku “The Storyteller’s Secret.”

Bagi Robbins, kepahitan hidup harus dijadikan sebagai pendongkrak motivasi untuk lebih baik. Jangan membuat kepahitan itu memenjarakan mental kita untuk berubah. Ceritakan masa lalumu, kepahitanmu tapi bangkitkanlah semangatmu, buatlah orang begitu bergairah dengan ceritamu, kira kira demikian cara Robbins.

Kepahitan hidup akibat kurangnya infomasi kini sudah bisa di dobrak dengan internet. Pun di desaku.

Bungus, kini sudah bertransformasi menjadi desa kecil nan indah. Semua rumah sudah dialiri listrik. Televisi bukan lagi barang mewah, pun handphone. Hampir semua penduduk desaku sekarang sudah memiliki HP. Berlari tidak lagi dengan kaki tapi sekarang semua sudah punya kendaraan bermotor. 

Makan daging, seperti di kota sudah bisa tiap hari. Tidak perlu lagi harus menunggu hingga tamu selesai makan.

Anak-anak sekolah sudah tidak lagi di paksa ke sawah. Mereka sudah bisa bermain game playstation. Penjual kaset video game pun sudah sampai didesaku.

Rata-rata para tua-tua desa kini sudah pernah menginjakkan kaki di berbagai kota dimana anak mereka mengais rejeki, sebutlah Medan, Batam, Jakarta, Bandung bahkan hingga Papua.

Di malam hari, para tua tua desa sudah bisa bercanda ria di teras rumah masing-masing yang kini sudah terang benderang di malam hari sembari bertelepon ria dengan anak dan cucu mereka diperantauan.

Itulah perubahan. We can't stop the changes. Yang tidak berubah adalah sebutan anak parhuta huta.