Surat Cinta: Dekat di Hati
Aku seperti tidak mampu menghentikan tanganku untuk merangkai sepucuk surat cInta ini. Unggahan foto2 kemarin (23//7) telah menyeret hayalanku kembali terbang melayang tinggi bagai tanpa batas, seolah saya berada di sana.Ya, di kampung halamanku.
Sorotan mata dan senyuman indah seperti terpampang di photo ini langsung menarik ingatanku terjun bebas ke Huta Bungus, sebuah desa kecil nan jauh dari keramainan, desa yang masih memegang teguh tata adat istiadatnya. Desa yang masih sejuk tidak hanya karena hijaunya pepohonan serta terpaan si embun pagi, tapi lebih karena sentuhan kasih dan kekerabatan yang masih terpancar tulus. Walau, ku akui tidak mudah merangkai kata yang pas untuk melukis wajah Bungus.
Sorotan mata dan senyuman indah seperti terpampang di photo ini langsung menarik ingatanku terjun bebas ke Huta Bungus, sebuah desa kecil nan jauh dari keramainan, desa yang masih memegang teguh tata adat istiadatnya. Desa yang masih sejuk tidak hanya karena hijaunya pepohonan serta terpaan si embun pagi, tapi lebih karena sentuhan kasih dan kekerabatan yang masih terpancar tulus. Walau, ku akui tidak mudah merangkai kata yang pas untuk melukis wajah Bungus.
Serasa berlebihan? Tentu tidak…
Apakah sempurna? Juga tidak…
Kini kasih dan kekerabatan itu tidak hanya hidup di kampung, tapi juga antar anak Bungus di tanah Perantauan.
Ketika saya berselayar di sosial media Facebook,
cukup mudah “bertemu” dengan para perantau kelahiran Huta Bungus, sebuah desa di Kecamatan Pangaribuan, Tapanuli Utara. Status mereka jelas masih
berpadu erat dengan kata Bungus. Darah mereka seperti bergelora saat bisa kembali
bertegur sapa dengan sang sahabat sekampung walau hanya di udara (Internet).
Photo oleh Jusperlin Pakpahan (facebook) |
Tanpa memandang usia, ekonomi dan latar belakang
pendidikan, mereka bersahut-sahutan, berbalas ria ala bahasa Bungus. Mereka bersua
langsung dengan panggilan nama seperti dimasa kecil. Sebuah panggilan
kebahagiaan. Obrolan demi obrolan selalu mereka kaitkan dengan Huta Bungus, dengan setumpuk pengalaman indah dan pahit saat dulu mereka masih berbaur dengan
darah Bungus.
Kini, semua menjadi kenangan hidup yang indah dan
tak terlupakan. Menjadi pemanis suka duka kehidupan di tanah perantauan, nan jauh hingga ribuan atau bahkan ratusan ribu kilometer dari Huta Bungus.
Walau jauh di mata, namun nama Bungus, tetap ada
di hati. Nama yang masih dan tetap harum seperti semerbak bunga kopi di pagi
hari -- kopi yang ditanam di hamparan tanah di samping dan belakang rumah.
Saat seorang sahabat mengunduh rangkaian foto sang
orangtuanya yang sedang berkunjung ke tanah perantauan, darah Bungus mereka seketika
mencuat. Ucapan demi ucapan selamat datang silih berganti seolah berlomba-lomba
untuk menyambut sang tamu. Jempol suka (Like) pun bertaburan sebagai tanda
sukacita.
Photo oleh Rotua Pakpahan (via Facebook) |
Kenangan berjalan kaki di atas tanah yang lembut
tanpa alas kaki, berkumpul dan tidur bersama teman sebaya di satu rumah di malam
Minggu, kenangan bergotong royong ketika musim panen tiba atau kenangan saat bersama
sama menjemur padi di hamparan halaman yang luas. Pun, kenangan kemeriahan bermain di halaman, atau sekedar bernyanyi bersama di tengah malam yang gelap gulita.
Semakin dalam melihat senyum indah orangtua yang
datang keperantauan, semakin liar pula hayalan akan masa lalu.
Membayangkan
kembali indahnya mandi bersama disungai. Polos tanpa rasa malu. Berlari berkejaran saat berangkat ke sekolah hingga kenangan berlatih natal pun kenangan perayaan tahun
baru -- saling berkunjung secara bergerombol ke masing-masing rumah di
malam Tahun baru.
Tidak hanya disitu, melihat foto orangtua dari
Bungus yang bertandang ke perantauan pun seolah melihat kembali wajah Bungus dengan
begitu jelas dipelupuk mata mereka. Desa yang indah seperti senyuman nan ramah tanpa
hiasan kamera, damai seperti kepolosan senyum mereka.
Namun, sedih tentunya, karena
hanya bisa berjabat tangan di udara.
Puluhan bahkan ratusan kenangan indah itu tidak akan
pernah cukup waktu untuk menuliskannya kembali di sebuah buku “Memory.”
Kini, kekuatan tangan dan kaki para tua-tua desa
ini berangsur rapuh. Wajah mereka pun penuh goresan-goresan “urat kasih”.
Namun, hati mereka tiada berubah oleh jaman; tulus dan alami.
Harapan mereka pun semua sama “Agar anak dan cucu-cucu sebagai
generasi penerus Bungus yang ada di perantauan selalu sehat dan diberkati.”
Selamat
datang diperantauan dan selamat kembali ke bona pasogit
Tertanda
Anak Bungus
No comments for "Surat Cinta: Dekat di Hati"
Post a Comment