Kenangan

Bungus, itulah nama desa tempatku di besarkan, sebuah desa yang 20 tahun lalu benar-benar indah nan sejuk tanpa sentuhan teknologi, tanpa suara hikuk pikuk dari layar televisi, pun suara radio. Semuanya alami. Hanya seliuran gonggongan anjing yang bersahut-sahutan memecah kesunyian di malam nan dingin dan kicauan ayam berkokok yang membangunkan penghuni desa.
Ragam permainan anak-anak kampung menghiasi hidupku sejak kelas 3 SD hingga 3 SMP sebelum akhirnya aku labuhkan langkahku meniti tangga baru ke sebuah SMA swasta di Tarutung, ibu kota dari desa ku. 


Berburu ikan di hamparan sawah, dan mencari sarang burung di semak belukar adalah sebagian penghibur masa kecilku walapun aku sendiri tidak pernah seberuntung teman2 ku yang sering mendapatkan sarang burung, tapi itupun sudah lebih dari cukup bagiku untuk bisa bebas tertawa, berteriak dan melompat di tengah seluk belukar. 

Pun disawah, saya sangat jarang menangkap ikan besar, umumnya lele. Entahlah…tetapi aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia saat kakiku tenggelam di lumpur sawah. Tidak ada rasa takut untuk kotor, pun digigit ular. Semua berjalan alami dengan tawa alami yang sulit untuk diulangi saat ini.

Saat di hamparan halaman rumah yang luas, anak anakpun riang gembira bermain layangan, kelereng, sepeda dan bola. Lagi-lagi, saya bukanlah masuk dibarisan pemenang.

Saya masih ingat suatu ketika saat teman sebayaku yang masih SD sudah pintar naik sepeda. Saya hanya bisa mengintip dari celah dinding rumah kami yang terbuat dari kayu. Tanpa kusadari, ayahku memperhatikan dari belakang dan beberapa saat kemudian, diapun mengeluarkan sepeda dan memanggilku keluar. Jujur, saat itu aku sangat takut untuk belajar sepeda. Sepeda tinggi seperti model ondel2 yang ada di ibukota. Tapi tekad ayahku sudah bulat bahwa saya harus bisa naik sepeda.

Ayah pun perlahan mengajari. Dia dengan sabar memegang sepeda hingga sejurus kemudian melepaskan pegangannya dan membiarkan aku menggayuh sepedaku sendiri. Jatuh dan jatuh. Hingga akhirnya akupun bisa membawa sepeda. Terima kasih ayah.

Bermain sepak bola menjadi favorit anak lelaki tapi bukan diriku. Aku hanya bisa berlari tanpa pernah membuat gol, pun kalau dapat bola sering  salah kalau mengoper bola ke teman tim. Sehingga aku hanya menjadi pemain penggembira dan jadi alternatif terakhir, bukan pemain cadangan tapi hanya di panggil merumput dilapangan kalau ada tim yang kurang peserta. ohhhhhh my God. how could it be? Satu kenangan pahit yang berbekas hingga kini adalah saat saya terjatuh bermain bola, tanganku keseleo. Hingga sekarang tangan sebelah kiriku tidah bisa lurus. But anyway, I try to accept it.

Mandi bertelanjang ria di sungai atau hamparan sawah juga sudah menjadi warna keseharianku petang hari atau pagi dan sore di hari Minggu, walau hingga kini aku masih harus belaar berenang. But anyway...itu benar benar nikmat dengan air sungai nan sejuk.

Pindah sekolah

Aku teringat saat pertama pindah sekolah ke desa ini, setelah ayahku yang seorang guru pindah tugas dari kecamatan Adiankoting, rasanya seperti pangeran yang turun gunung. Maklum, saat kelas 1 SD dan 2 SD, saya sudah terbiasa dengan pemandangan melihat mobil berseliuran di jalan utama antara Tarutung dan Sibolga. Sebuah pemandangan yang belum ada saat itu di desaku.

Tapi aku sangat bahagia dengan perpindahan ini. Aku bersyukur karena akan tinggal berdekatan dengan sang kakek dan nenek yang sangat menyayangiku, terlebih saya sebagai cucu pertama dimana namaku akan melekat dalam panggilan sang kakek.

Sayang sang kakek tidak lama tinggal bersama kami, namun aku bisa merasakan pelukannya yang hangat, suaranya yang lembut dan pegangan tangannya yang kokoh. Sang kakek telah menjadi pembelaku kalau aku berbuat salah. 

Sepeninggalan kakek, nenekku lah yang menjadi pembelaku. Diapun tidak segan2 berdebat pada sang ayah kalau melihat saya dihukum. Dia memelukku, menghantarkanku kesekolah. Sang nenek juga sering menyelipkan uangnya disaku ku, uang ia dapatkan dari anak-anaknya. Pun saat saya kuliah, dia selalu memberiku uang setiap pulang kampung. 

Kedua "sahabatku" ini kini sudah tiada tapi namaku sebagai cucu pertama masih menempel di batu nisan mereka.

Tegas

Ayahku yang seorang guru Matematika di sebuah SMP terkenal dengan sikapnya yang tegas dan sering membuat jangankan siswanya, saya sendiri takut untuk belajar Matematika di depannya. Yah..begitulah ayahku yang tidak pernah membawa buku kesekolah karena dia sudah menghalaf semua bab2 di buku itu dari kelas 1 ke kelas 3. 

Baginya tidak ada kamus kompromi untuk sebuah kesalahan. Sama seperti kebanyakan orangtua jaman itu bahwa tangannya sering mengikuti kemarahannya. Tapi itu dulu, saat aku menginjak SMA semua berubah total. Sang ayah sudah menanamkan disiplin yang luar biasa untuk kami semua. Menghargai orang lain dan selalu berbuat jujur.

Ayah seorang yang tegas mengajarkan ahlak. Pantang baginya untuk mengambil yang bukan haknya. Pantang baginya untuk menjual buku bagi anak didiknya. Dan pantang baginya untuk melihat orangtua siswa harus menghadap kesekolah karena di panggil guru karena kenakalan muridnya.

Pernah suatu ketika orangtua siswa di panggil menghadap ke sekolah. Ketika melihat orangtua itu yang notabene masih keluarga, diapun kaget dan ayah langsung memanggil muridnya. Didepan orangtuanya, ayah marah dan menghukum anaknya tanpa rasa takut. Semua dilakukan karena rasa sayangnya terhadap orang tua itu.

Satu pesan ayah untuk anak2nya "selalu berbuat baik dan jangan pernah mengambil yang bukan hak kita. Bagi sang ayah, kesatuan keluarga adalah harga mati. Dia tidak pernah mengukur anaknya dari harta, tapi dia tidak bisa menahan air mata sukacita saat melihat anaknya bisa berkumpul semua, pulang dari perantauan dengan semua cucu2nya. 

Sang ibu menyempurnakan didikan dari ayah. Ibu selalu menanamkan kata kata positif walau dia tidak pernah membaca buku buku kepribadian. Dia selalu memanggil anak-anaknya dengan panggilan tondiku, hasianku, ate-ateku...

Bersyukur adalah kata yang selalu diselipkan sang ibu kepada anak2nya.






No comments for "Kenangan"