Ngeri Ngeri Sedap

Saya ngeri-ngeri sedap membaca artikel di halaman 1 Kompas ini (18/7). Orang-orang muda berani memilih berkarir di bona ni pasogit (kampung). Jaman opo iki?

Benar kah mereka pulang kampung? Kenapa ? Kan mereka terpelajar dan masih muda lagi? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku sambil mataku menyapu bersih kata demi kata dari cerita mereka.

Edwin Pranata, lulusan universitas dari negeri Paman Sam kembali ke kampung halamannya di Bojonegoro, Jawa Timur; fotografer professional, Edward Tigor Siahaan pindah ke kota ombus-ombus di Siborong-Borong, Tapanuli Utara, Tigor Siagian, lulusan universitas kebanggan Sumatra Utara ini memilih melanjutkan karir di Desa Marsangap, Sigumpar, Toba Samosir. Pun, Sebastian Hutarabat, lulusan Universitas Pahrayangan, Bandung ini pulang membangun kampungnya di Balige. Tekat mereka sama “membangun kampung tercinta.”

Tigor (39) lulusan jurusan Akuntansi dari Universitas Sumatra Utara, misalnya memilih pulang kampung dan jadi petani setelah merasakan karir yang enak di Jakarta dan Pekan Baru. Dia pun maju dalam pemilihan kepala daerah dan menang pada 2010 dan 2015.

“Saya maju menjadi kepala desa karena ingin menyejaterakan warga, penghidupan warga di kampung kami jauh dari sejahtera,” kata Tigor sebagaimana dikutip dari Kompas.

Saya ngeri membayangkan bagaimana mereka bisa seberani itu membuat keputusan pulkam (Pulang kampung)? Bagaimana cara mereka meyakinkan orangtua dan sanak saudaranya, pun orang kampung agar mereka bisa diterima? Ini mah butuh nyali besar, tekat yang lebih kuat dari baja dan tentunya perencanaan yang sangat matang.  

Sedapnya, ini adalah sebuah gerakan berani. Berani melawan arus, berani tidak popular tapi dampaknya itu bro…luar biasa... Role Model untuk kaula muda. Daya tariknya sudah dipastikan melebihi dari besi berani (magnet). Kehadiran mereka akan membuka luas pintu-pintu yang selama ini seolah tertutup. Gengsi pulkam.

Saya teringat waktu bulan Desember 2015, ketika merayakan tahun baru bersama orangtua yang datang dari bona pasogit ke Surabaya.  Saya sampaikan bagaimana kalau saya pulang kampung untuk beternak ikan lele atau ikan mas? Atau menanam kopi deh? Atau menanam ubi…

“Unang pola sude pikkiri portibion amang (jangan semua dunia ini kamu pikirkan nak),” kata sang ayah dengan mimik yang serius.

Padahal saya sudah memulai obrolan dengan santai, memberikan contoh2 orang berhasil di kampung lain dan tangtangan2 luar biasa yang ada di Ibukota tercinta ini. Tapi memang, ini bukanlah hal yang gampang untuk diterima. 

Ketika saya pulang kampung dan memberi salam salut untuk teman2 yang berani pulang dari perantauan untuk bertani, jawabnya hanya “Jangan begitulah lae…kami disini hanya begini2 aja. Kalianlah yang sudah pasti lebih enak di perantauan”

Mungkin bukan hanya di desa saya, Desa Bungus (Kecamatan Pangaribuan, Tapanuli Utara) tapi di ribuan desa lainnya di Indonesia sekarang ini lebih banyak berpenghuni kaum tua.

Maklum, seingat saya di era 70 an, orang perantau kalau pulang kampung itu seperti gadis yang sangat cantik nan supel. “wangi, bersih, indah di pandang, enak juga jadi teman ngobrol semalam suntuk…dan isi dompetnya itu bro pasti beda hehehe.”

Kalau perantau pulang kampung, semua tetangga akan menjamu mereka makan dirumahnya. Enak kan?

Sehingga, banyak orang tua selalu mendorong anak2nya untuk “Pergilah merantau…hami pe dison (Kami yang menjaga kampung)’

Mungkin itu juga kenapa sempat populer slogan dari Pemerintah Sumatra Utara di era Gubernur Alm. Raja Inal Siregar “Marsipature Hutanabe (Martabe)”, sebagai ajakan khususnya untuk anak perantau membangun kampung halaman masing-masing.

Mudah2an dengan keberanian pendekar muda ini, akan banyak nanti generasi millennia yang akan berbakti pada kampungnya. Era internet saat ini sudah memberikan ruang yang begitu luas, tanpa batas…









No comments for "Ngeri Ngeri Sedap"